Judul Buku : Antologi Puisi ”TRAH”
Penulis : R. Mega Ayu
Krisandi D
Penerbit : Indie Book Corner
Cetakan : Pertama 2010
Tebal : 106 halaman
DARI ISTANA
YANG RAPUH, MENUJU DUNIA NYATA DAN KEMBALI RAPUH
Salah
satu perkataan Tuhan yang pernah muncul tentang semua ini adalah ”tiap-tiap
manusia itu diciptakan dalam keadaan suci, dan orang tuanyalah yang menjadikan
mereka Yahudi atau Nasrani”, yang bila diterjemahkan bebas orang tualah yang
menjadikan anak mereka rupa-rupa bentuk dan rupa-rupa warna. Dalam hal ini,
orang tua telah mengalami pelebaran makna pada diri saya, orang tua ini bukan
saja hanya mereka yang telah melahirkan, memberi susu dan makan sampai
membersihkan popok dan pakaian. Melainkan, orang tua adalah mereka yang ada di
sekitar lingkungan, baik masyarakat, pendidikan dan keluarga. Karena
sesungguhnya, dalam tahap usia anak-anak sampai dewasa, seseorang sangat sulit
mendengarkan wejangan-wejangan, akan tetapi lebih gampang melakukan peniruan.
Tanpa sempat berfikir apakah yang ditiru itu baik atau buruk. Dalam hal ini,
penulis antologi puisi Trah bertemu dengan ketiga lingkungan tersebut, yang
barang tentu memiliki kultur budaya dan latar belakang yang berbeda.
[Yogi S. Memeth]
R. Mega
A.K.D atau akrab dipanggil Chaa adalah seorang gadis belia, selayaknya
gadis-gadis seusianya yang masih mencari jati diri. Dalam banyak keluh kesahnya
tentang kelahiran tak pernah direncanakan, Chaa mencoba meneriakkan suara-suara
minor dalam jantung membuat aliran udara pernafasannya sesak, meski suara-suara
itu harus terbentur pada dinding kamar, langit-langit rumah, atau ia harus rela
untuk sekedar lewat. Sebab, sebentar lagi suara-suara itu harus ia larungkan
pada laut dengan sampan impiannya. Perlawanan-demi perlawanan berkecamuk dalam
jiwanya, tapi ia tak berani bersuara sebab, darahnya telah ”terkutuk” dalam
sebuah trah.
Seperti pada salah satu puisinya
:
//Garis Keturunan//
”Padaku,
Terendus
garis trah kerajaan (darah dari titis magis tak sempat di baptis)
Sejarah
berulang,
Putri
tak hendak diikat di puri” (Cha: 2010)
Sebuah ”ketidak
siapan” dan ”kebanggaan yang samar” terasa kental pada paragraf selanjutnya
dalam puisi yang berjudul sama
”silsilah
hanya tinggal kertas kusam berlubang
Melintang
di tiap bambu tengah tanpa atap
Muntab,
lenyap
Terhisap
waktu pun selaksa prajurt tak bersayap
: rayap”
Darah segala
rupa sudah barang tentu tak boleh meninggalkannya sebab ia ”anak raja”, dari
darah pujangga, darah tikus, darah anjing, darah apapun jua, boleh ada pada
dirinya, tetapi bagi Chaa. Ia memilih darah pujangga, seperti suara gamelan
yang pelan, darah itu mengantarkannya pada sebuah muara tentang kesejatian
hidup dan manusia. Darah itu semakin ”kental dan binal” setelah
”persetubuhannya” dengan dunia bermain peran yang kemudian meledak membakar
dirinya.
//Darah
Trah Dewata//
”Sesemat
kata muncrat di angkasa
Termaktub
kesumat lupa tak tersebut
Ksatriaku
(yang hidup lingkup megah nirwana)
Di
sinilah aku (yang menelungkup dalam griya rumbia)
Mari
cinta kita tertawa
Menabuh
genta tak bernyawa”
Terasa
seperti mengintip masa lampau dengan hal-hal kuno. Dengan darah Trah
Sastradiwirja mengalir dalam tubuh sang aku. Darah yang kental akan adat budaya
tua, dan religi islami yang benar-benar ketat. “Seringkali pada masa kecil aku
dihadapkan pada sesuatu yang memang sangat berkesan, berjalan kaki beberapa
kilometer dengan menyusur sungai menuju sebuah makam yang ada di lereng gunung,
makam Kakek Gliman, seseorang yang telah membabat hutan hingga akhirnya menjadi
sebuah desa, katanya. Juga belajar mengasah parang, keris, membantu memasak
jenang Suro, jenang Safar di bulan Safar, pengajian, bahkan lebih banyak
mengunjungi makam-makam Sunan, raja-raja, atau pun makam leluhur, daripada
diajak shopping, jalan-jalan ke taman bermain, atau tempat-tempat yang sudah
modern. Mereka, yang biasa kupanggil Mbah putri dan Kung, lebih mengarahkan
untuk mengenalkanku pada kehidupan-kehidupan lawas atau kuno seperti itu. Yang
sekarang bagiku cukup dirasa memiliki unsur-unsur magis, mistis tersendiri jika
mengingat semuanya”. (Cha: 2010)
Selayaknya seorang remaja, Chaa adalah seorang anak manusia yang masih
mencari jati dirinya. Bertanya – tanya, sampai pertanyaan itu menjejal kepala
dan kemudian ia muntahkah dalam sebuah karya. Sebab mulutnya tidak terlalu
berani untuk berteriak dan melawan keadaan yang batinnya sendiri menolaknya
dengan kuat. Sebab semua itu harus ia lebur pada sebuah nama ”penghormatan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar