Cari Blog Ini

Senin, 05 Maret 2012

KAPASS # 1. Feb 2012

”aku baru sadar bahwa aku juga pemalas”.

 
 Inilah alasan Tuhan menciptakan manusia “dari sperma dan telur, menggumpal, membentuk diri dan mulai merayap, merangkak, berjalan, kemudian berlari” sebagai salah satu pembelajaran bahwa hidup butuh proses untuk mencapai titik temu bermuara pada satu tujuan“.
Yogi S. Memeth


-          Identitas
Judul                                 : Pemalas Itu: Kaya, Bahagia Dan Menikmati Hidupnya
Penerbit                           : Indie Book Corner
Tebal/ jumlah halaman  : 150 halaman
Penulis                              : Mas Dot
Tahun terbit                     : mei 2011

-          Orkesta malam

”Malam ini begitu pekat kawan, sepekat ampas kopi. Malam ini begitu hening kawan, tapi itu sangkamu. Cobalah dengar, cobalah dengar barang sejenak. Oo begitu merdu bukan? Itulah orkestra malam yang tak setiap orang mau mendengarnya
Itulah nyanyian malam temanku menepi temukan diri” mas Dot.
Ternyata suara alam itu sudah demikian dibikin merdu selaras dengan semesta, antara kebisingan-kebisingan itu ia sudah meleburkannya menjadi sunyi dalam nyanyian alam, ada saat-saat dimana ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, kodok-kodok mendadak berlomba untuk bernyanyi, atau ngengat-ngengat yang mencapi puncak riuh dalam orkestra malamnya. Ada rahasia yang mesti ditelanjangi, kita perlu menemukan sejatinya, memberikan kesimpulan dan membuat keputusan bahwa inilah diri kita.
” kebanyakan orang menyangka pemalas itu tidak kaya dan bahagia, dan para pekerja keras adalah PEMALAS SEJATI. Takperlu menunggu esok untuk kaya, tapi kekayaan itu muncul ketika anda meyakininya Mas Dot.
Inilah hal terindah dalam sebuah perjalanan, ketika seorang anak manusia menemukan apa yang sebenarnya ia cari dan ia butuhkan. Kita perlu memahami dan menangkap segala rahasia yang tersimpan. Dalam kutipan berikut: ” langkah laju roda pedati: sudah sudahlah, kau takkan mampu mengatamkan bait bait cinta di muka muka semesta ini. Bahkan debu debu di bulu hidungmupun belum sempat kau eja makna. Kau cukup menapakkan kakimu saja. Kaki yang kau pahami sebagai kendara lajur roda pedati. Pelan pelan saja, tak perlu risau terik menekik pun gerimis yang lamis lamis. Sederhana saja. Pahami laju langkahmu, maka kaupun kan tahu jejak jejak yang dulu menyisa setepak. Jika cinta telah berubah di dadamu, tetaplah dalam langkah laju roda pedatimu. Bagikan cintamu kepada siapa saja, itu lebih menerangkan hatimu dibanding kau buat jaring laba laba. Kedewasaanmu dapat kau ukur di lingkup kerak kulit bumi yang nyata. Bukan dalam perut bumi, bukan dalam lautan tak bertuan. Maka jikalau kau lelah, sejak berhentilah. Mampirlah di cafe cafe yang ada dan bertapalah disana. Kau kan banyak temukan pelajaran berharga. Jika kau dapat mengerti pastilah kau kan terseyum saat jasad tak lagi mengurungmu pada dimensi ketiga ini” (mas Dot, 2011: 48), ini berarti bahwa kita butuh sebuah kepastian terhadap mimpi mana yang harus kita pilih. Dan pada setiap mimpi itu ada semak belukar, jika kaki merasa lelah tertusuk cadas, luka mesti dikeringkan dan perlu menghela nafas untuk kemudian melanjutkan langkah. Yang jelas mimpi tidak boleh berhenti.

-          Pembedahan
Dalam buku ini, masalah yang begitu kompleks dikupas dengan sangat sederhana. Sebagai salah satu bukti dari penulis bahwa ia adalah seorang pemalas yang menyukai keindahan alam, menangkap pristiwa-pristiwa didalamnya kemudian memaknakannya. Sebuah ide ”gila” dari penulis untuk merombak makna ”pemalas” (pekerja cerdas), tentu sebuah kawalan yang berbeda dari kamus bahkan tidak akan pernah sama dengan kamus. Dalam tiap-tiap lembar buku itu aku baca beberapa kali sampai benar-benar isi tiap pembahasannya aku temukan maksudnya.
Dalam pemaparan makna tentang pemalas dan pekerja keras mas Dot mencoba untuk membongkarnya secara apik dan menggelitik (daya humornya tinggi kayaknya) sehingga jika kita membaca isinya, kita akan menganggap enteng isi buku ini, padahal. Dalam tulisan yang sekali lagi sangat ringan dibahasakan ini, isinya sangat kental dengan perenungan-perenungan. Perenungan yang membutuhkan energi bernama keseriusan dan totalitas sehingga kita benar-benar memahami apa sebenarnya yang kita cari.
Penjabaran Mas Dot melalui jejak kaki di perbukitan, tentang jalur yang berkelok-kelok, jalur yang terjal, kadang menanjak dan penuh dengan desau angin dan akan menjadi persoalan apabila kita belum siap dengan setiap pilihan. Sebab dalam setiap pilihan selalu saja ada resiko-resiko, tidak sedikit orang menyerah dengan resiko itu dan mereka itu adalah tipikal orang yang mengikuti asumsi masyarakat kebanyakan tentang mereka harus bekerja-bekerja dan bekerja tanpa pernah bertanya sebelumnya apakah pekerjaan itu memang mereka ”wajar” berada didalamnya bukan atas dasar keterpaksaan (tuntutan dari sebuah asumsi bernama tradisi masyarakat).
Sampai aku memutuskan untuk menyelesaikan tulisan ini, aku baru sadar tentang siapa diriku sebenarnya dan apa yang aku butuhkan (terimakasih mas Dot), tersesat (pinjam istilah), demikianlah keperluan setiap orang, mereka harus berani tersesat. Sebuah istilah menggelitik untuk memfokuskan masalah pada ”tersesat”. Untuk tahu tentang perampok, baik kehidupan, pola fikir, dan tetek-bengeknya maka orang tersebut harus berani (bukan nekat) untuk menyelami dunia itu sendiri. Orang-orang terkadang suka (menikmati) ketersesatan pemahaman yang telah membudaya pada masyarakat itu sendiri, pemahaman turun temurun (sudah mulai bergeser dalam diriku) dari nenek-sampai cicitnya tentang pomeo-pomeo dari moyang mereka (jadi inget film islam KTP).
Agar tulisan ini tidak ngelantur, sebaiknya saya mulai membuat garis bawah terhadap statemen awal, bahwa dalam tulisan ini tidak akan membahas item-item keseluruhan dalam buku tersebut karena sesungguhnya inti dari buku setebal 250 halaman itu hanyalah 4 (empat) hal yaitu: 1) tahap pencarian, 2) tahap perenungan dan 3) upgrade, terahir 4) niat. Penulisan tiga hal ini dilakukan sengaja tidak dengan begitu mendatail, dengan maksud agar pembaca sedikit penasaran dan mau bertanya serta membuat penulis terangsang untuk mencari refrensi yang menopang tentang 3 hal tersebut.

1.      Tahap pencarian (mimpi)
Seorang anak manusia perlu ”mencari” dan memahami dirinya sendiri, apa sebenarnya yang ia inginkan dan ia butuhkan, bukan malanjutkan mimpi orang lain (membebek) ”istilah dalam tulisan Mas Dot”. Semua orang berhak untuk memiliki mimpi, tanpa campur tangan orang tua, seorang anak harus membangun mimpi menangkap ribuan kunang-kungan untuk ia jadikan cahaya dalam dirinya sebab, apa yang ditemukan oleh orang lain belum tentu sama dengan apa yang akan ditemuknan generasi berikutnya. Dalam tahap pencarian ini, mas Dot mengadalogikannya sebagai sebuah perjalanan menuju satu titik, titik itu ia gambarkan sebagai sesuatu yang ia sukai (pegunungan) ”pendakian adalah pencarian jalan. Seorang pendaki itu tujuannya jelas, mencapai puncak, hidup tanpa tujuan seperti pendaki yang tersesat di gunung, berarti mendekati kematian, tersesat dalam hidup berarti membunuh diri perlahan” (mas Dot: 2011: 15) pemilihan gunung sebagai salah satu titik keputusan bukannya tanpa alasan, penulis mencoba memaparkan bagaimana pencarian sebuah titik melalui apa yang menjadi hoby. Dengan tujuan agar maksud yang disampaikan menjadi sangat dekat dengan keseharian, tentu saja analogi setiap kita boleh berbeda-beda untuk menemukan sebuah muara, pada titik mana kita harus mengambil keputusan bahwa ”ini jalanku”. Tidak sedikit generasi-generasi muda berpendapat ”masa muda, masa poya-poya, masa yang harus dinikmati” (boleh dong jika aku sempat menangis mendengarnya), sungguh miniatur kehancuran, sebab tidak sedikit dari anak-anak SMP ataupun sampai perkuliahan yang masih memegang faham ini. Faham hidup tanpa sebuah tujuan.
Dari beberapa hasil diskusiku (anggap saja investigasi) dengan beberapa perempuan (anak SMP/ SMA sampai anak kuliahan) tidak sedikit yang melanjutkan studi hanya untuk menghilangkan asumsi/ pembicaraan masyarakat akan mengutuk mereka sebagai seorang ”sampah”, tidak berguna dan lain sebagainya, atau tak jarang juga yang ”bertujuan” hanya sekedar tak mau membatu pekerjaan orang tua mereka. Sengaja bertujuan saya berikan tanda petik, karena sesungguhnya ini bukanlah tujuan melainkan pembenaran terhadap budaya ”malas” (aku lebih suka dengan gengsi) yang sudah mendarah daging di masyarakat, semua ini terjadi karena kesalahan pendidikan, kesalah fahaman terhadap konsep hidup. Wet, jangan bilang ini jauh dari pembahasan, mari coba kita fahami bahwa sering sekali orang tua memberikan kita wejangan bahwa kita harus sekolah, kemudian bekerja, menikah dan bla-bla-bla yang artinya bahwa kita tidak pernah memiliki mimpi, melainkan melanjutkan mimpi dan tak sedikit orang yang tunduk dengan semua itu atas nama rasa hormat ”hormat yang sesat”.


2.      Tahap perenungan
Kita mesti merenung (wah jadi inget mas Dot, jangan-jangan dia seorang petapa, hehehe)
”jika anda terlalu sibuk dengan apa yang anda lakukan, maka anda hanya akan menjadi robot bernama manusia, terlalu sibuk sampai-sampai lupa untuk apa sebenarnya kesibukan yang telah anda lakukan. Terlalu sibuk sampai-sampai tak tahu tujuan hidup, kebanyakan orang hanya menuruti persepsi masyarakat yang sudah terlanjur melekat dalam memori fikiran. Sebagian orang disibukkan untuk mencari simbol kebahagiaan, ironis karena apa yang kebanyakan orang kejar hanyalah simbol belaka” (mas Dot, 2011: 21) bahwa sesungguhnya kaya itu: bekerja, rumah mewah, mobil mewah dan wah lainnya (impian sebagian pekerja keras) pun tak sedikit orang-orang ”tersesat” memiliki mimpi seperti ini.
Mas Dot dan aku beda sedikit, jika mas Dot berprinsip ”pemalas” maka aku ”gila”. Suatu hari aku bertemu dengan teman-teman seniman Lombok Timur, hari itu aku diperkenalkan oleh seorang sahabat. Mereka bertanya kepadaku tujuanku masuk dunia seni, sepontan saja aku jawab ”aku ingin menjadi gila”, dengan senyum setengah purnama mereka memelukku erat dan berkata ”selamat bergabung” (potong cerita). Di kampus tempat aku tamatkan sekolahku aku dicap sebagai orang gila (tambah gila setelah membaca ”orang-orang gila yang paling waras”). Sejujurnya saat itu, aku belum menemukan titik terang tentang apa yang aku cari dan tujuanku, sampai titik mana harus menjadi bagian dalam diriku. Semua organisasi kampus aku masuki (tidak termasuk pramuka, maklum malas dan tak suka diatur) untuk menemukan sejatinya diriku, lama proses pencarian itu aku menemukan sebuah nama baru Yogi’s memeth (seorang teman seniman membuang tanda abstruknya). Sebenarnya yogi s. Memeth aku gunakan sejak tahun 1995, disinilah pertama kali aku mencoba menulis (propaganda, sajak dan apapun yang bisa ditulis). Dan sampai saat itu aku belum menemukan sebenarnya diriku, sungguh sebuah perenungan panjang. Tak sedikit aku mendapat perlawanan dari lingkungan terutama keluarga, tapi satu hal yang membuatku tak mundur adalah keyakinaku bahwa ”hanya orang-orang gila yang akan berhasil menguasai dunia dan menaklukkannya”. Aku belajar menemukan potensi diriku, mengumpulkan hobi kemudian aku aduk-aduk dengan potensi itu, dan aku menemukan ”this is me” (sok Inggris) sejatinya diriku, kemauanku, hobiku dan tujuanku.
”pemalas itu adalah orang-orang yang kreatif dan intuitif, ia tahu apa yang ia butuhkan dan mengerti bagaimana memanfaatkan potensi dirinya untuk memperoleh apa yang ia kejar, sedangkan orang yang rajin itu adalah orang yang selalu mengikuti persepsi masyarakat dan melakukan semua tindakan dengan pembenaran” (mas Dot, 2011: 25).
Begini, jika seorang manusia benar-benar muslim sejati (bukan seorang manusia, melainkan hamba) maka ia akan merenungkan mengapa mereka harus menyebah (solat) untuk sang penguasa, padahal ia adalah segala-galanya tinggal minta selesai masalah. Di beberapa diskusiku seorang teman berkata, ”ada juga yang ga pernah berdo’a tapi kok lengkap idupnya” inilah alasan puisi tersebut aku angkat, bahwa proses kreatifnya adalah tak jarang dari diri kita yang melupakan proses hanya ingin sebuah hasil (kebiasaan kebanyakan orang) ”berharap mendapatkan sesuatu, sebelum melakukan sesuatu”.
Dalam beberapa istilah mas Dot (maaf lupa halamannya dan aku ”malas mencarinya”), seorang manusia diharapkan seharusnya berkarya bukan bekerja, melahirkan bukan melanjutkan ”PR”. Mari kita kembali pada sub item ini, bahwa kita butuh merenung (olah sukma dalam teater, wah promosi lagi neh) mencari apa yang sebenarnya kita cari, kita butuhkan, kita inginkan agar kita tidak termasuk orang merugi ”sesungguhnya celakalah mereka yang hari ini tak lebih baik dari kemarin, dan kemarin tak lebih baik dari sekarang” (ucapan sang nabi). Dan demikianlah, jika kita sudah sampai pada tahap perenungan, maka kita perlu berkumpul dengan orang-orang yang sekiranya sepaham dengan jalur kita, agar pada tahap berikutnya. Kita benar-benar menyadari keputusan yang kita buat sendiri

3.      Upgrade
Jika mas Dot menggunakan lagu iwan fals, aku akan menggunakan puisiku sendiri yang esensinya tak jauh beda dengan lagu itu.

PEREMPUAN

ke jalan, tatapanku terpental
10 perempuan telanjang.
ia bertanya luas ruang kerja dekat rumahnya,
dekat kampungnya sampai jalur kota

orang-orang cibir tawa,
pendidikannya kandas biaya

perempuan telanjang tanpa benang
dan anak-anaknya tak mampu bermimpi
sebab semua mimpi
ada biaya

Jika seseorang telah melakukan sebuah perjalanan, maka ia wajib melakukan perenungan. Dalam tidak cukup sampai disitu, ia harus membuat sebuah kesimpulan dari perjalanan sampai perenungan. Dan ini adalah tahap upgrad, tahap dimana semua keinginan harus terbayar mahal, tiap jalan itu ada semak duri, karang yang cadas dan langkahmu siap deraskan getaran darah dan airmata. Tapi sebuah kepuasan setelah mencapai puncak adalah harga yang tak bisa terbayar dengan apapun.
Dari dua tahap yang sejatinya akan memperkenalkan kita kepada sebuah keinginan dan impian, seharusnya perenungan itu membuat kita berani menyimpulkan sebuah keputusan, keputusan yang tentunya tak boleh di ganggu gugat dan dicampur tangani oleh siapapun. Dibutuhkan sebuah ”keberanian” bukan ”kenekatan”, keberanian untuk melawan segala kebiasaan yang sudah terjadi dan membabi-buta dalam masyarakat.
Kita mesti memilih akan menjadi yang mana : 1) membuat suatu terjadi, 2) melihat suatu terjadi dan 3) tidak tahu sesuatu terjadi. (law of attraction) (mas Dot: 2011: 89). Intinya dalam pemilihan mimpi, seorang anak manusia haru sering melakukan perenungan. Tahap ini tidak serta merta lahir begitu saja. Katanya mas Dot (2011: 82) otak manusia itu  punya empat gelombang 1) beta, 2) alfa, 3) theta, dan 4) delta
-          beta: gelombang otak yang memiliki frekuensi tinggi, terbentuk saat kita sadar/ saat melakukan kegiatan sehari-hari
-          alfa: gelombang otak saat rileks, gelombangnya lebih lambat dari beta. Terjadi saat zikir, solat dan mau tidur (alam bawah sadar)
-          theta: gelombang otak saat mencapai puncak ketenangan, kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan
-          delta: gelombang otak ketika tidur nyenyak, dalam kondisi ini orang dapat melihat kejadian yang akan datang. Dapat juga terjadi ketika sadar, nama tepatnya intuisi/ insting.
Hal yang memperkuat ini adalah teori otak kanan dan otak kiri, jadi apapun yang kita lakukan tergantung otak

4.      Niat
Kutipan ini menjadi pengantar: ”hayalkan, niscaya kamu akan dapatkan”, ”segala sesuatu itu, tergantung niatnya”, ”apa yang menjadi prasangkamu, maka begitulah yang akan kau temukan (aku sesuai prasangka hambaku)”
Seseorang yang telah menyadari potensinya dan telah mengalami perenungan panjang, maka ia harus memperkuat niatnya agar setiap aral di depan degup jantungnya mampu ia lawan ”tak ada istilah buruk dalam manusia, yang ada hanyalah, ketidak siapan kita menerima pemberian Allah yang berbeda dari keinginan kita”. ”tiap-tiap segala sesuatu, terlalu sering tidak kita sadari” setidaknya begitulah yang aku tangkap setelah membaca tulisan mas Dot ”Tuhan sebenarnya bukannya tidak mengabulkan semua do’a manusia, tetapi manusia itu tidak siap menerima kenyataan yang diberikan Tuhan). Waduh, apa hubungannya yah.....
Begini, jika seorang anak manusia memiliki niat (totalitas) tertinggi terhadap mimpinya, maka ia harus siap dengan segala resiko yang terdapat di dalamnya, jadi kita perlu benar-benar mengkaji mimpi setelah perenungan dan memperkuat niat, agar kita tidak menjadi ”bebek” (mas Dot) yang hanya mengikuti kata orang tua, kata tetangga, sebab hidup ini bukan milik mereka, melainkan milik kita sendiri

-          Bab terahir ini aku lebih suka menyebutnya kesimpulan bukan sebagai kekurangan
hampir tak ada kekurangan dalam tulisan mas Dot ini, bagaimana tidak. Filsafat ia bahasakan dengan begitu ringan, budaya (bebek) orang lampau sampai detik ini ia coba tolak mentah. Sederhanananya begini, fikirkan, mimpikan, pastikan dalam hati (totalitas), maka anda akan temukan apa yang anda cari.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar