”aku baru sadar bahwa aku juga
pemalas”.
Inilah alasan
Tuhan menciptakan manusia “dari sperma dan telur, menggumpal, membentuk diri
dan mulai merayap, merangkak, berjalan, kemudian berlari” sebagai salah satu
pembelajaran bahwa hidup butuh proses untuk mencapai titik temu bermuara pada
satu tujuan“.
Yogi S. Memeth
-
Identitas
Judul :
Pemalas Itu: Kaya, Bahagia Dan Menikmati Hidupnya
Penerbit : Indie Book Corner
Tebal/
jumlah halaman : 150 halaman
Penulis :
Mas Dot
Tahun terbit : mei
2011
-
Orkesta malam
”Malam ini begitu pekat kawan, sepekat ampas kopi. Malam ini begitu hening
kawan, tapi itu sangkamu. Cobalah dengar, cobalah dengar barang
sejenak. Oo begitu merdu bukan? Itulah orkestra malam yang tak setiap orang mau
mendengarnya
Itulah
nyanyian malam temanku menepi temukan diri” mas Dot.
Ternyata suara alam itu sudah demikian dibikin merdu
selaras dengan semesta, antara kebisingan-kebisingan itu ia sudah
meleburkannya menjadi sunyi dalam nyanyian alam, ada saat-saat dimana ayam jantan
berkokok bersahut-sahutan, kodok-kodok mendadak berlomba untuk bernyanyi, atau
ngengat-ngengat yang mencapi puncak riuh dalam orkestra malamnya. Ada
rahasia yang mesti ditelanjangi, kita perlu menemukan sejatinya, memberikan kesimpulan
dan membuat keputusan bahwa inilah diri kita.
” kebanyakan orang menyangka pemalas itu tidak kaya dan
bahagia, dan para pekerja keras adalah PEMALAS SEJATI. Takperlu menunggu esok
untuk kaya, tapi kekayaan itu muncul ketika anda meyakininya” Mas Dot.
Inilah hal terindah dalam sebuah perjalanan, ketika
seorang anak manusia menemukan apa yang sebenarnya ia cari dan ia butuhkan.
Kita perlu memahami dan menangkap segala rahasia yang tersimpan. Dalam kutipan
berikut: ” langkah laju roda pedati: sudah sudahlah, kau takkan mampu
mengatamkan bait bait cinta di muka muka semesta ini. Bahkan debu debu di bulu
hidungmupun belum sempat kau eja makna. Kau cukup menapakkan kakimu saja. Kaki
yang kau pahami sebagai kendara lajur roda pedati. Pelan pelan saja, tak perlu
risau terik menekik pun gerimis yang lamis lamis. Sederhana saja. Pahami laju
langkahmu, maka kaupun kan tahu jejak jejak yang dulu menyisa setepak. Jika
cinta telah berubah di dadamu, tetaplah dalam langkah laju roda pedatimu.
Bagikan cintamu kepada siapa saja, itu lebih menerangkan hatimu dibanding kau
buat jaring laba laba. Kedewasaanmu dapat kau ukur di lingkup kerak kulit bumi
yang nyata. Bukan dalam perut bumi, bukan dalam lautan tak bertuan. Maka
jikalau kau lelah, sejak berhentilah. Mampirlah di cafe cafe yang ada dan
bertapalah disana. Kau kan banyak temukan pelajaran berharga. Jika kau dapat
mengerti pastilah kau kan terseyum saat jasad tak lagi mengurungmu pada dimensi
ketiga ini” (mas Dot, 2011: 48), ini berarti bahwa kita butuh sebuah kepastian
terhadap mimpi mana yang harus kita pilih. Dan pada setiap mimpi itu ada semak
belukar, jika kaki merasa lelah tertusuk cadas, luka mesti dikeringkan dan
perlu menghela nafas untuk kemudian melanjutkan langkah. Yang jelas mimpi tidak
boleh berhenti.
-
Pembedahan
Dalam buku ini, masalah yang begitu kompleks dikupas
dengan sangat sederhana. Sebagai salah satu bukti dari penulis bahwa ia adalah
seorang pemalas yang menyukai keindahan alam, menangkap pristiwa-pristiwa
didalamnya kemudian memaknakannya. Sebuah ide ”gila” dari penulis untuk
merombak makna ”pemalas” (pekerja cerdas), tentu sebuah kawalan yang berbeda
dari kamus bahkan tidak akan pernah sama dengan kamus. Dalam tiap-tiap lembar
buku itu aku baca beberapa kali sampai benar-benar isi tiap pembahasannya aku temukan
maksudnya.
Dalam pemaparan makna tentang pemalas dan pekerja keras
mas Dot mencoba untuk membongkarnya secara apik dan menggelitik (daya humornya
tinggi kayaknya) sehingga jika kita membaca isinya, kita akan menganggap enteng
isi buku ini, padahal. Dalam tulisan yang sekali lagi sangat ringan dibahasakan
ini, isinya sangat kental dengan perenungan-perenungan. Perenungan yang
membutuhkan energi bernama keseriusan dan totalitas sehingga kita benar-benar
memahami apa sebenarnya yang kita cari.
Penjabaran Mas Dot melalui jejak kaki di perbukitan,
tentang jalur yang berkelok-kelok, jalur yang terjal, kadang menanjak dan penuh
dengan desau angin dan akan menjadi persoalan apabila kita belum siap dengan
setiap pilihan. Sebab dalam setiap pilihan selalu saja ada resiko-resiko, tidak
sedikit orang menyerah dengan resiko itu dan mereka itu adalah tipikal orang
yang mengikuti asumsi masyarakat kebanyakan tentang mereka harus
bekerja-bekerja dan bekerja tanpa pernah bertanya sebelumnya apakah pekerjaan
itu memang mereka ”wajar” berada didalamnya bukan atas dasar keterpaksaan
(tuntutan dari sebuah asumsi bernama tradisi masyarakat).
Sampai aku memutuskan untuk menyelesaikan tulisan ini,
aku baru sadar tentang siapa diriku sebenarnya dan apa yang aku butuhkan
(terimakasih mas Dot), tersesat (pinjam istilah), demikianlah keperluan setiap
orang, mereka harus berani tersesat. Sebuah istilah menggelitik untuk
memfokuskan masalah pada ”tersesat”. Untuk tahu tentang perampok, baik
kehidupan, pola fikir, dan tetek-bengeknya maka orang tersebut harus berani
(bukan nekat) untuk menyelami dunia itu sendiri. Orang-orang terkadang suka
(menikmati) ketersesatan pemahaman yang telah membudaya pada masyarakat itu
sendiri, pemahaman turun temurun (sudah mulai bergeser dalam diriku) dari
nenek-sampai cicitnya tentang pomeo-pomeo dari moyang mereka (jadi inget film islam
KTP).
Agar tulisan ini tidak ngelantur, sebaiknya saya mulai
membuat garis bawah terhadap statemen awal, bahwa dalam tulisan ini tidak akan
membahas item-item keseluruhan dalam buku tersebut karena sesungguhnya inti
dari buku setebal 250 halaman itu hanyalah 4 (empat) hal yaitu: 1) tahap
pencarian, 2) tahap perenungan dan 3) upgrade, terahir 4) niat. Penulisan tiga
hal ini dilakukan sengaja tidak dengan begitu mendatail, dengan maksud agar
pembaca sedikit penasaran dan mau bertanya serta membuat penulis terangsang
untuk mencari refrensi yang menopang tentang 3 hal tersebut.
1. Tahap pencarian (mimpi)
Seorang anak manusia perlu ”mencari” dan memahami dirinya
sendiri, apa sebenarnya yang ia inginkan dan ia butuhkan, bukan malanjutkan
mimpi orang lain (membebek) ”istilah dalam tulisan Mas Dot”. Semua orang berhak
untuk memiliki mimpi, tanpa campur tangan orang tua, seorang anak harus membangun
mimpi menangkap ribuan kunang-kungan untuk ia jadikan cahaya dalam dirinya
sebab, apa yang ditemukan oleh orang lain belum tentu sama dengan apa yang akan
ditemuknan generasi berikutnya. Dalam tahap pencarian ini, mas Dot
mengadalogikannya sebagai sebuah perjalanan menuju satu titik, titik itu ia
gambarkan sebagai sesuatu yang ia sukai (pegunungan) ”pendakian adalah
pencarian jalan. Seorang pendaki itu tujuannya jelas, mencapai puncak, hidup
tanpa tujuan seperti pendaki yang tersesat di gunung, berarti mendekati
kematian, tersesat dalam hidup berarti membunuh diri perlahan” (mas Dot: 2011:
15) pemilihan gunung sebagai salah satu titik keputusan bukannya tanpa alasan,
penulis mencoba memaparkan bagaimana pencarian sebuah titik melalui apa yang
menjadi hoby. Dengan tujuan agar maksud yang disampaikan menjadi sangat dekat
dengan keseharian, tentu saja analogi setiap kita boleh berbeda-beda untuk
menemukan sebuah muara, pada titik mana kita harus mengambil keputusan bahwa
”ini jalanku”. Tidak sedikit generasi-generasi muda berpendapat ”masa muda,
masa poya-poya, masa yang harus dinikmati” (boleh dong jika aku sempat menangis
mendengarnya), sungguh miniatur kehancuran, sebab tidak sedikit dari anak-anak
SMP ataupun sampai perkuliahan yang masih memegang faham ini. Faham hidup tanpa
sebuah tujuan.
Dari beberapa hasil diskusiku (anggap saja investigasi)
dengan beberapa perempuan (anak SMP/ SMA sampai anak kuliahan) tidak sedikit
yang melanjutkan studi hanya untuk menghilangkan asumsi/ pembicaraan masyarakat
akan mengutuk mereka sebagai seorang ”sampah”, tidak berguna dan lain
sebagainya, atau tak jarang juga yang ”bertujuan” hanya sekedar tak mau membatu
pekerjaan orang tua mereka. Sengaja bertujuan saya berikan tanda petik, karena
sesungguhnya ini bukanlah tujuan melainkan pembenaran terhadap budaya ”malas”
(aku lebih suka dengan gengsi) yang sudah mendarah daging di masyarakat, semua
ini terjadi karena kesalahan pendidikan, kesalah fahaman terhadap konsep hidup.
Wet, jangan bilang ini jauh dari pembahasan, mari coba kita fahami bahwa sering
sekali orang tua memberikan kita wejangan bahwa kita harus sekolah, kemudian
bekerja, menikah dan bla-bla-bla yang artinya bahwa kita tidak pernah memiliki
mimpi, melainkan melanjutkan mimpi dan tak sedikit orang yang tunduk dengan
semua itu atas nama rasa hormat ”hormat yang sesat”.
2. Tahap perenungan
Kita mesti merenung (wah jadi inget mas Dot,
jangan-jangan dia seorang petapa, hehehe)
”jika anda terlalu sibuk dengan apa yang anda lakukan,
maka anda hanya akan menjadi robot bernama manusia, terlalu sibuk sampai-sampai
lupa untuk apa sebenarnya kesibukan yang telah anda lakukan. Terlalu sibuk
sampai-sampai tak tahu tujuan hidup, kebanyakan orang hanya menuruti persepsi
masyarakat yang sudah terlanjur melekat dalam memori fikiran. Sebagian orang
disibukkan untuk mencari simbol kebahagiaan, ironis karena apa yang kebanyakan
orang kejar hanyalah simbol belaka” (mas Dot, 2011: 21) bahwa sesungguhnya kaya
itu: bekerja, rumah mewah, mobil mewah dan wah lainnya (impian sebagian pekerja
keras) pun tak sedikit orang-orang ”tersesat” memiliki mimpi seperti ini.
Mas Dot dan aku beda sedikit, jika mas Dot berprinsip
”pemalas” maka aku ”gila”. Suatu hari aku bertemu dengan teman-teman seniman
Lombok Timur, hari itu aku diperkenalkan oleh seorang sahabat. Mereka bertanya
kepadaku tujuanku masuk dunia seni, sepontan saja aku jawab ”aku ingin menjadi
gila”, dengan senyum setengah purnama mereka memelukku erat dan berkata
”selamat bergabung” (potong cerita). Di kampus tempat aku tamatkan sekolahku
aku dicap sebagai orang gila (tambah gila setelah membaca ”orang-orang gila
yang paling waras”). Sejujurnya saat itu, aku belum menemukan titik terang
tentang apa yang aku cari dan tujuanku, sampai titik mana harus menjadi bagian
dalam diriku. Semua organisasi kampus aku masuki (tidak termasuk pramuka,
maklum malas dan tak suka diatur) untuk menemukan sejatinya diriku, lama proses
pencarian itu aku menemukan sebuah nama baru Yogi’s memeth (seorang teman
seniman membuang tanda abstruknya). Sebenarnya yogi s. Memeth aku gunakan sejak
tahun 1995, disinilah pertama kali aku mencoba menulis (propaganda, sajak dan
apapun yang bisa ditulis). Dan sampai saat itu aku belum menemukan sebenarnya
diriku, sungguh sebuah perenungan panjang. Tak sedikit aku mendapat perlawanan
dari lingkungan terutama keluarga, tapi satu hal yang membuatku tak mundur
adalah keyakinaku bahwa ”hanya orang-orang gila yang akan berhasil menguasai
dunia dan menaklukkannya”. Aku belajar menemukan potensi diriku, mengumpulkan
hobi kemudian aku aduk-aduk dengan potensi itu, dan aku menemukan ”this is me”
(sok Inggris) sejatinya diriku, kemauanku, hobiku dan tujuanku.
”pemalas itu adalah orang-orang yang kreatif dan
intuitif, ia tahu apa yang ia butuhkan dan mengerti bagaimana memanfaatkan
potensi dirinya untuk memperoleh apa yang ia kejar, sedangkan orang yang rajin
itu adalah orang yang selalu mengikuti persepsi masyarakat dan melakukan semua
tindakan dengan pembenaran” (mas Dot, 2011: 25).
Begini, jika seorang manusia benar-benar muslim sejati
(bukan seorang manusia, melainkan hamba) maka ia akan merenungkan mengapa
mereka harus menyebah (solat) untuk sang penguasa, padahal ia adalah
segala-galanya tinggal minta selesai masalah. Di beberapa diskusiku seorang
teman berkata, ”ada juga yang ga pernah berdo’a tapi kok lengkap idupnya”
inilah alasan puisi tersebut aku angkat, bahwa proses kreatifnya adalah tak
jarang dari diri kita yang melupakan proses hanya ingin sebuah hasil (kebiasaan
kebanyakan orang) ”berharap mendapatkan sesuatu, sebelum melakukan sesuatu”.
Dalam beberapa istilah mas Dot (maaf lupa halamannya dan
aku ”malas mencarinya”), seorang manusia diharapkan seharusnya berkarya bukan
bekerja, melahirkan bukan melanjutkan ”PR”. Mari kita kembali pada sub item
ini, bahwa kita butuh merenung (olah sukma dalam teater, wah promosi lagi neh)
mencari apa yang sebenarnya kita cari, kita butuhkan, kita inginkan agar kita
tidak termasuk orang merugi ”sesungguhnya celakalah mereka yang hari ini tak
lebih baik dari kemarin, dan kemarin tak lebih baik dari sekarang” (ucapan sang
nabi). Dan demikianlah, jika kita sudah sampai pada tahap perenungan, maka kita
perlu berkumpul dengan orang-orang yang sekiranya sepaham dengan jalur kita,
agar pada tahap berikutnya. Kita benar-benar menyadari keputusan yang kita buat
sendiri
3. Upgrade
Jika mas Dot menggunakan lagu iwan fals, aku akan
menggunakan puisiku sendiri yang esensinya tak jauh beda dengan lagu itu.
PEREMPUAN
ke
jalan, tatapanku terpental
10
perempuan telanjang.
ia bertanya luas ruang
kerja dekat rumahnya,
dekat kampungnya sampai
jalur kota
orang-orang
cibir tawa,
pendidikannya
kandas biaya
perempuan
telanjang tanpa benang
dan
anak-anaknya tak mampu bermimpi
sebab
semua mimpi
ada
biaya
|
Jika seseorang telah melakukan sebuah perjalanan, maka ia
wajib melakukan perenungan. Dalam tidak cukup sampai disitu, ia harus membuat
sebuah kesimpulan dari perjalanan sampai perenungan. Dan ini adalah tahap
upgrad, tahap dimana semua keinginan harus terbayar mahal, tiap jalan itu ada
semak duri, karang yang cadas dan langkahmu siap deraskan getaran darah dan
airmata. Tapi sebuah kepuasan setelah mencapai puncak adalah harga yang tak
bisa terbayar dengan apapun.
Dari dua tahap yang sejatinya akan memperkenalkan kita
kepada sebuah keinginan dan impian, seharusnya perenungan itu membuat kita
berani menyimpulkan sebuah keputusan, keputusan yang tentunya tak boleh di
ganggu gugat dan dicampur tangani oleh siapapun. Dibutuhkan sebuah ”keberanian”
bukan ”kenekatan”, keberanian untuk melawan segala kebiasaan yang sudah terjadi
dan membabi-buta dalam masyarakat.
Kita mesti memilih akan menjadi yang mana : 1) membuat
suatu terjadi, 2) melihat suatu terjadi dan 3) tidak tahu sesuatu terjadi. (law of
attraction) (mas Dot: 2011: 89). Intinya dalam pemilihan mimpi, seorang anak
manusia haru sering melakukan perenungan. Tahap ini tidak serta merta lahir
begitu saja. Katanya mas Dot (2011: 82) otak manusia itu punya empat gelombang 1) beta, 2) alfa, 3)
theta, dan 4) delta
-
beta: gelombang otak yang memiliki
frekuensi tinggi, terbentuk saat kita sadar/ saat melakukan kegiatan
sehari-hari
-
alfa: gelombang otak saat rileks,
gelombangnya lebih lambat dari beta. Terjadi saat
zikir, solat dan mau tidur (alam bawah sadar)
-
theta: gelombang otak saat mencapai
puncak ketenangan, kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan
-
delta: gelombang otak ketika tidur
nyenyak, dalam kondisi ini orang dapat melihat kejadian yang akan datang. Dapat
juga terjadi ketika sadar, nama tepatnya intuisi/ insting.
Hal yang memperkuat ini adalah teori otak kanan dan otak kiri, jadi apapun
yang kita lakukan tergantung otak
4. Niat
Kutipan ini menjadi pengantar: ”hayalkan, niscaya kamu
akan dapatkan”, ”segala sesuatu itu, tergantung niatnya”, ”apa yang menjadi
prasangkamu, maka begitulah yang akan kau temukan (aku sesuai prasangka
hambaku)”
Seseorang yang telah menyadari potensinya dan telah
mengalami perenungan panjang, maka ia harus memperkuat niatnya agar setiap aral
di depan degup jantungnya mampu ia lawan ”tak ada istilah buruk dalam manusia,
yang ada hanyalah, ketidak siapan kita menerima pemberian Allah yang berbeda
dari keinginan kita”. ”tiap-tiap segala sesuatu, terlalu sering tidak kita
sadari” setidaknya begitulah yang aku tangkap setelah membaca tulisan mas Dot
”Tuhan sebenarnya bukannya tidak mengabulkan semua do’a manusia, tetapi manusia
itu tidak siap menerima kenyataan yang diberikan Tuhan). Waduh, apa hubungannya
yah.....
Begini, jika seorang anak manusia memiliki niat
(totalitas) tertinggi terhadap mimpinya, maka ia harus siap dengan segala
resiko yang terdapat di dalamnya, jadi kita perlu benar-benar mengkaji mimpi
setelah perenungan dan memperkuat niat, agar kita tidak menjadi ”bebek” (mas
Dot) yang hanya mengikuti kata orang tua, kata tetangga, sebab hidup ini bukan
milik mereka, melainkan milik kita sendiri
-
Bab terahir ini aku lebih suka
menyebutnya kesimpulan bukan sebagai kekurangan
hampir tak ada kekurangan dalam tulisan mas Dot ini, bagaimana tidak.
Filsafat ia bahasakan dengan begitu ringan, budaya (bebek) orang lampau sampai
detik ini ia coba tolak mentah. Sederhanananya begini, fikirkan, mimpikan,
pastikan dalam hati (totalitas), maka anda akan temukan apa yang anda cari.