Cari Blog Ini

Selasa, 27 November 2012

SCRIPT MATAHARI (UNTUK) BULAN


Scene 1: jalan raya sepi
beberapa kendaraan lewat Vika berjalan tampak putus asa berhenti didepan gerbang rumah, terduduk menatap ponselnya

Ekstra 1:
ayo, berderinglah

Setelah lama, tergesa-gesa mengangkatnya

halo, ia benar saya sendiri”. (mendengar dengan teliti) “benarkah? Dimana (wajahnya tampak berseri) baiklah, sebentar lagi saya akan meluncur kesana (mempersiapkan beberapa barang kebutuhannya, ia menghubungi kekasihnya)
“sayang, katanya ada sebuah kampung yang masih kental mempertahankan kebudayaan. Kesana yuk. Ok, aku tunggu ya. Jangan lama-lama

Scene 2: di jalan kecil sebuah kampung
beberapa orang berdiri, nampak di wajah mereka rasa khawatir, sebab sampai jam hampir malam, ada yang nampak putus asa, sebagian terduduk. Lelah, bosan. Begitulah orang-orang itu menunggu depan gardu menuju kampung halaman.

Ekstra 2:
(berteriak) dia…….datang

Orang-orang serentak menatap senang sepeda motor yang berjalan semakin mendekat dan berhenti

Ekstra 2:
Kau bisa menjemputku setelah tiga hari, terimakasih sebelumnya

Cont’d
Ekstra 1:
Maaf, perjalanan sedikit terhambambat, sudah lama disini? Sebaiknya kita langsung saja menuju desa

Dia masih banyak pekerjaan, jadi tak bisa tinggal bersamaku

Scene 3: di kampung
Vika disambut oleh beberapa sesepuh adat dan sebuah tarian tradisional. ia mengeluarkan kamera mini dan sebuah buku harian ditempat itupula ia bertemu dengan temannya Tika yang memberinya info di telpon, ia banyak mendapatkan penjelasan-penjelasan tentang kegiatan yang sedang berlangsung

Ektra 1: (mengambil gambar)
Terimakasih infomu

Ekstra 3: tersenyum, berbicara banyak hal, sesekali menunjuk kearah penari (catatan 1)
Namanya bulan, nanti kau aku kenalkan dengannya
Selepas latihan, Tika mendekati Bulan dan membicarakan prihal kedatangan Vika, dari arah panggung Tika menunjuk kearah Vika dan Bulan memperhatikan dengan seksama. Mereka kemudian menghampiri Vika yang sedari tadi selesai mengambil gambar dan menulis di buku hariannya.

Ekstra 4: (memperbaiki penampilannya)
Beginilah kampung kami setiap harinya, dari generasi ke generasi upacara adat gawe selalu dilakukan. Kata amaq dan inaq, agar kesenian dan kebudaya tetap utuh dan bisa dikenal generasi selanjutnya

Ekstra 5: (dari arah panggung, memperhatikan sejenak)
Ulan, beke’ temoe tie istirahat juluk maeh. Lelah ruenne

Ekstra 4:
Kata amaq, kita harus istirahat

Cond’t
Ia adalah orang yang paling dituakan di kampung ini, salah satu dari puluhan pemangku adat yang masih kuat ingin mempertahankan kebudayaan

Ekstra 1:
Apakah kau mau menemaniku membicarakan beberapa hal tentang tradisi ini

Ekstra 4: (khawatir)
Tapi, amaq bilang

Ekstra 1: (memotong)
Hem sebentar sajalah, waktuku tidak banyak disini. Aku hanya butuh beberapa data untuk dikirimkan kepada rektor di kampus

Ekstra 4: (tersenyum)
saya takut dia nanti marah. Santailah, kita nikmati dulu suasana di kampung terpencil ini

Sene 4: teras depan rumah
vika membuka notebooknya dan mengembangkan tulisan yang ia buat di buku catatan hariannya

ekstra 5: (keluar rumah, memperbaiki kainnya)
Beginilah kampung kami mbak, tak ada yang bisa diharapkan dari kesenian, dulu kampung ini lebih ramai dengan adanya pemuda-pemuda yang ikut serta menjaga kelestarian budaya. Tapi, mereka lebih memilih keluar negeri. Bagi mereka, tak ada yang pantas diandalkan dari berkesenian, saya pergi sebetar dulu, kau diam saja disini bersama Bulan.

Ekstra 4: ( membawa minuman dan makanan, meletakkan di atas meja, duduk di sebelahnya)
silahkan dinikmati mba’ tapi maaf disini tidak ada makanan sebagus kota.
Hidup dengan berkesenian mungkin adalah tindakan bodoh, aku sebenarnya sangat ingin meninggalkan kampung ini. Disini tak ada yang bisa diharapkan dari berkesenian


Ekstra 1: (meyakinkan)
Ayahmu tadi bercerita, tapi tidak banyak, sebaiknya kamu jangan berkecil hati, harusnya kamu bangga dengan yang dimiliki kampung halamanmu. Justru ini akan membawa penghasilan bagi daerah bila di kelola dengan baik. Kamu mau mengajariku bahasa daerahmu. Setidaknya itu akan mempermudahku untuk mengenali kebudayaanmu, waktu saya tidak banyak karena harus kembali ke kota. Jadi, saya akan menulis beberapa hal tentang daerah ini

Cat to notebook
Ekstra 1: (mengisi blog, lampiran beberapa foto) “nasib kesenian dan budaya di masa mendatang”
Ekstra 4: (bingung, heran)
Itu…
Ekstra 1: (tersenyum)
Ini adalah salah satu media untuk memperkenalkan diri, tidak hanya itu, media ini bisa dimanfaatkan sebagai ajang promosi. Kamu bisa melakukan hal yang sama, memperkenalkan kampung halamanmu dan kebudayaan yang berkembang disini, saya yakin. Dengan potensi yang dimiliki kampung halamanmu itu akan menjadi daya tarik bagi para wisatawan
Ekstra 4:
Kalau begitu, bantulah saya vika. Aku mengajari mba bahasa daerahku dan mba mengajariku tentang blog itu

Scene 5:
Vika meninggalkan desa, dijemput pacarnya
Ekstra 1:
Suatu hari nanti, semoga kita bertemu lagi

Ekstra 4: (melambaikan tangan, tersenyum)
Hati-hati di jalan ya

Cond’t
Bulan belajar mengisi blog miliknya. Beberapa orang berkunjung ke kampung halamannya, sebab itupula, vika kembali ke kampung tersebut tanpa diketahui bulan

Ekstra 4: (berfikir, tersenyum lebar)
Inilah kampung yang kurindu, kampung budaya.

Ekstra 1: (dari belakang, tersenyum)
sebuah mimpi yang dulu temaram menjadi terang seperti matahari untukmu bulan. Selamat ya

ekstra 4: (terkejut, menoleh)
Semoga saja ini bukan mimpi tengah hari

Ekstra 1: (menulis buku hariannya “catatan 5&6” kemudian menutup bukunya)

Jumat, 16 November 2012

SHORT MOVIE "MIMPI DENDE AYU"


MIMPI DENDE AYU


Sebuah kisah gadis remaja berusia 16 tahun. Sejak kecil ia hidup bersama kedua orangtuanya dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, tak seperti rumah para tetangga. Tidak ada TV, kulkas, ataupun radio sebagai pelipulara, ia ditinggalkan oleh ayahnya dalam usianya ke 16 karena penyakit sesak nafas akut yang diderita.
Tidak seperti gadis biasanya, Dende Ayu adalah gadis remaja yang memiliki segudang prestasi dibidang seni, ia adalah sosok gadis yang sering membawa nama sekolah memenangkan beberapa lomba baik ditingkat Kecamatan dan Kabupaten. Tidak hanya sampai disitu, ia bahkan sering memenangkan lomba di luar sekolah.
Dende ayu adalah seorang manusia normal, yang memiliki mimpi-mimpi seperti gadis-gadis ABG lainnya, mimpi sederhana untuk membuat orangtuanya bangga dengan prestasi yang dimilikinya. Ia adalah sosok gadis yang dikenal sangat sederhana, baik hati dan suka bergaul. Sayang, semua mimpi-mimpi yang ia miliki menjadi pudar setelah kematian ayahnya, ia merasa sangat kasian dengan ibunya yang bekerja pagi, siang bahkan malam. Tak jarang ibunya harus batuk dan sakit-sakitan sebab menanggung beban yang terlalu berat bagi perempuan. Hal itupula yang membuat Dende ayu berfikir bahwa, dia harus berhenti dari sekolahnya agar ia tidak menjadi penambah beban orang yang paling dicintainya, sering ia katakan kepada sahabat baiknya: “Lentang, sepertinya aku harus berhenti sekolah, kematian ayahku yang beberapa tahun memaksa ibu harus bekerja keras, aku tidak sanggup melihat penderitaannya”. Keadaan yang begitu menekan bagi seorang anak ABG, “aku sudah tidak sanggup lagi dengan semua ini, aku merasa semua harus berahir, aku tidak mampu memiliki mimpi lagi, mimpi itu sudah aku kubur dalam-dalam”. Sifatnya yang peramah dan suka bergaul sedikit berubah, ia menjadi sosok yang pendiam dan suka murung setelah kepergian ayahnya.
Dengan segala kenyataan-kenyataan yang dihadapi itu, Dende merasa apa yang menimpanya terlalu berat. Ia sangat sadar dengan keadaannya dan keadaan orangtuanya, hal itulah kemudian membuat Dende mengambil keputusan untuk berhenti dari sekolahl
Demikianlah Dende dihadapkan pada mimpi dan kenyataan, mimpi yang selama ini selalu didamba-damba dan kenyataan akan kerasnya aral yang  merintang. Namun Dende tidak pernah patah semangat ia terus menggali potensi dalam dirinya sambil terus berdo’a agar Tuhan mendengarkan keluh kesahnya. Bagi Dende, Tuhan adalah satu-satunya tempat melepas dan mencurahkan perasaan tanpa ragu dan khawatir tidak didengarkan.

Yogi S. Memeth