Cari Blog Ini

Jumat, 11 November 2011

MONOLOG HANTU LALAT


 

[gambar. google.com]
Pentas Menggambarkan Ruang Kosong, Hanya Terdapat Bangku Panjang Di Tengah. Sementara di pojok kiri terdapat sebuah meja usang. seorang pemuda terduduk dan mencoba untuk tidur


Pemuda:
(resah) ah..... (berbalik arah, terganggu dan mengusir)
           
Ia Belum Terlihat Bisa Tidur. Lalat Semakin Ia Rasakan Mengganggu

Pemuda:
(marah) bedebah (meloto kepada lalat yang sedang terbang, memperhatikan dengan teliti)

Pemuda:
Kau fikir kau siapa...heh? (menepuk lalat) Dia memperhatikan genggaman,
ia merasa telah menangkap seekor lalat tetapi ternyata kosong. Iapun beranjak dari tempat tidurnya, menuju atas meja. Tapi lalat masih saja mengganggunya.
Marahnya semakin memuncak

Pemuda:
(mengejar lalat) hei...bedebah...tunggu (berusaha membunuh) Terlihat ia sangat kelelahan, dan tak satupun lalat berhasil di bunuh. Ia mengampiri tempat tidur semula.
Ia terduduk memikirkan sesuatu

Pemuda:
Hem (mengingat-ingat) ya....(terlihat bahagia karena menemukan sesuatu)
sambil menarik celana lebih tinggi, ia tidur dalam pura-pura. Seekor lalatpun terjebak oleh betisnya. Dengan sigap ia memukul lalat, di wajahnya terlihat senyum yang lebar
karena usahanya kali ini membuahkan hasil

Pemuda:
Apa yang kau andalkan (marah) kaki kecil, tubuh kecil. Hanya biji matamu yang besar (menjilat jari dan menyentil kepala lalat) mampus kau (senyum puas sambil meletakkan bangkai lalat di atas meja)

Ia terlihat berusaha kembali tidur dengan senang dan menenangkan diri. Beberapa saat kemudian ian bangun dan tidur kembali. Kali ini ia kembali diganggu.

Ia berlari keluar panggung dan kembali membawa sapu lidi dengan segera ia mengeluarkan jurus membasmi lalat ciri khasnya

Pemuda:
(marah dan mengibas-ngibaskan sapu ke udara) anjing kau lalat...
kau tidak lihat bangkai temanmu? (melihat lalat di kursi) mampuskau (memukul)

Kali ini ia mendapatkan dua ekor nyamuk, ia meletakkan bangkai lalat itu di atas meja, berharap agar teman-teman lalat itu tidak lagi mengganggunya.

Ia berbaring di atas bangku. Beberapa kali ia berputar tidak juga ia bisa tertidur seperti yang diharapkan

Pemuda:
(penuh hawatir) kenapa perasaan ini menggangguku (memperhatikan meja yang berhias bangkai lalat) Ia seperti mendengar suara-suara

Pemuda:       
Hei kau (ketakutan) siapa kau...(melihat sekitar) (ketakutan memuncak)
apa kau bilang.... kau adalah hantu lalat...? Dengan segera ia memperhatikan meja
ia menuju ke sana, dengan perlahan tapi pasti dalam wajah penuh ketakutan
ia menghampiri bangkai lalat itu

Pemuda:
Apa yang telah aku lakukan....? (memperhatikan dengan teliti)
bukankah....ini adalah tanda kerjaan..? ya terlihat jelas dari warna
dan bentuk sayapnya....(khawatir) jangan-jangan ini anak raja (melihat lebih teliti)
astaga naga...mati aku.....(berusaha menyatukan kepala lalat dengan tubuhnya)
aku harus berusaha menyatukan kepala lalat dengan tubuhnya....terus
yang satu lagi..? (memeriksa lalat, memperhatikan dengan teliti) apa...?
(terkejut) bukankan ini pacar sang penguasa (ketakutan)

Dalam resah yang tak berkesudahan dan semakin memuncak, ia frustasi, bingung bercampur resah dan taku (mengisi ruang dalam panggung)

Pemuda:
Jadi... kau fikir karena kau berkuasa kau boleh merasa semua adalah milikmu..
(bertanya dalam takut) dan kau... apa kau rasa karena kau adalah kekasihnya
kau berhak mengambil milik bawahanmu

Pemuda itu terkulai lemas menyesali keadaan, menangisi kebenaran yang sedang terjadi. Pemuda itu membuka tutup botol yang sedari tadi ada dalam kantongnya

Pemuda:
Mungkin ini menjadi hal terindah bagiku... nasib memang tidak bernah berpihak kepada orang-orang kecil sepertiku. Aku malu dan takut tinggal di negri yang tidak jelas arah hukumnya... orang2 selalu menyalahkan orang lain tanpa melihat kesalahannya sendiri

Pemuda:
Apa yang harus aku lakukan....? (berfikir) ya...aku akan lakukan...
(menaiki meja dan berdiri) termenung (kemudian meloncat) aaahhhhhhhh....(sepi)

TAMAT


ZUPAK JERANTANG 2012


 [gambar.google.com]

Karakter
Gerantang
Cupak
Raja
Sutradara
Penari
Dalang

Putri
:
:
:
:
:
:

:
Tolol/ ideot, tuli, tiap bicara wajah berkedut dan latah
Setres, ayan dan banci
Setres, banci dan makan pinang
Dokter (sedang PKL, belum tau ada orang normal)
Setres dn tak bisa mendengar suara musik
Normal, tapi tidak tau ia ada dimana, sedikit budek, sensitif terhadap suara cewek
Ompong, setres, manja, lebay dan suka cengengesan

Adegan dimulai di taman halam depan sebuah rumah sakit, beberapa orang sedang melakukan adegan-adengan, dari arah luar panggung terlihat orang yang kagum dengan kejadi itu dan mengeluarkan kertas dari saku celananya, ia kemudian mengajak mereka bermain drama membaca cerita terdengar musik penari masuk gaya bebas setelah beberapa saat dan dalangpun marah-marah. Dalam adegan ini semua peran belum dibagi.

Dalang
:
Lah bagusne,,, te piak drama cupak gerantang aneh,,,(membuka laptop). We penari, dekman tutuk tebece cerite wah teme. Pada apek bodimu jelap..
Penari
:
(cengengesan)

Setelah membaca jalan cerita, musik masih bertalu-talu, tapi penari belum juga masuk, dalang kembali ngomel-ngomel

Dalang
:
Manuk betian, penari! Matamu yang hijau kuning kelabu, merah muda dan biru, pede teme..
Penari
:
(dari luar panggung) ndot juluk, selapunya masih jok WC
Dalang
:
Genda...t! pentas yak te mulaine, penonton wah rame, segerah pada bejamaah jok WC
Orang I
:
Antihnya diriku sekejap mendak

Beberapa saat kemudian muncul 5 orang secara bersamaan sambil membawa lembaran-lembaran kertas, mereka sibuk di atas pentas membagi peran setelah dalang membaca cerita.

Dalang
:
Anak, inak amakna, kan dekman pede mulai!
Orang 1
:
Yoh, ite sibuk begi peran (memperbaiki tembakau di bibirnya
Dalang
:
Dek ulak peri paya repot wah, anta raja, anta cupak, anta gerantang, ente putri (memperhatikan dan menunjuk satu-satu

Orang-orang yang ditunjuk merasa sangat bahagia dan melakukan tarian gaya masing-masing

Orang 1
:
Asik.... asik...... asik
Orang 2-4
:
Asik.... asik...... asik (bergiliran)
Orang 5
:
Ndot semendak sekecet, rembak araan

Merekapun menari bersamaan dengan gaya masing-masing sambil keluar panggung. Beberapa saat kemudian muncul dua orang

Orang 3
:
Endot mentelah sepeleng mendak doang (cengengesan) aneh, epe peran de (cengengesan)
Orang 2
:
Jerantang aku ne, (bingung, tampak tolol) side jak, epe peran de
Orang 3
:
Putri (cengengesan)
Orang 2
:
Oh, aok ok sudah. Ampun tuan putri arak apakah
Orang 3
:
Sebenarne (menatap jauh) leman laeek dari dulu tiang simpen rasa lek kakak (cengengesan) mun tiang pedasang leman Pluto sambil kayang, side nike gagah, span dait santun
Orang 2
:
Astaralla..... ndek tiang paut pantes kence side, tiang anak pengarat simbur, mun sidekan anak raja

Sementara, di depan pangung dalang terlihat terkantuk-kantuk dan tak sengaja memutar lagu hamil duluan, penaripun sepontan masuk dengan gaya ciri has masing-masing, dalang sangat terkejut mendengar kegaduhan di panggung yang kebetulan suara cewek

Dalang
:
Astege (menghentikan musik) salak jamak wah ine... we (menunjuk penari) sugul bin mesik (melanjutkan kegiatannya)
Penari
:
(dengan wajah sebal) eeeeee (keluar panggung)
Orang 3
:
(respon cuek dan berlalu)
Orang 2
:
Jogang jege (terkejut melihat putri yang keluar panggung dengan wajah musam)

Orang diapun mengejar putri, panggung sejenak sepi, dalang terlihat bungung karena merasa belum mendengar adanya terjadi dialog

Dalang
:
Yoh, mbe entahku bebece baruk ah, (memanggil seseorang) we kete, jelap gigoh isik encong
Orang 5
:
(masuk panggung dengan tergesa-gesa)
Dalang
:
Mbe entahku baruk? Denger mek aku bece cerite
Orang 5
:
(menjelaskan)
Dalang
:
Oooo.. kemu be ente jeri sutradara aok, ok
Orang 5
:
(mengangguk)
Dalang
:
Meco ndot ente ite

Dalang kemudian membaca alur dari cerita, suara sayup-sayup musik terdengar, seseorang masuk panggung. Ketika volume musik dinaikkan penaripun masuk dengan gaya masing-masing mengambil posisi dan komposisi

Orang 1
:
(eksplorasi panggung) laillah haillalloh,,,,, kanak sa nigelne eh,eh,
Orang 4
:
Baginda reje (dengan gaya bancinya) ya Allah, baginda reje tiang ngelapor ne
Orang 1
:
Aduh.... ada apa, sih (gaya bancinya dan memperbaiki tembakaunya) sorak-sorak marak bembek te gorok
Orang 4
:
Iih, baginde jak girangne ngeni (memukul dengan gaya hasnya) Gelantang reje, Gelantang
Orang 1
:
Jerantang! Ngangak. Ne ngumbe jak kenapa
Orang 4
:
Anuk raja
Orang 1
:
(menutup kemaluan, kemudian memperbaiki kain)
Orang 4
:
Maksud tiang, ie doang jari biang keladi kerok piak makalah, dekne wah tingka paya urus kewajibanne. Sekolah deknewah ini pacu. Bolos dait piak masalah doang gawekne. Wah siu samas seket skorne
Orang 1
:
Astaralla... (terkejut, memotong adegan) mek ngarang-ngarang doang
Orang 4
:
Tiang tetu (menghampiri raja)
Orang 1
:
Ne, mek denger (beranjak dari tempatnya) zaman sekarang dunia wah tidak lagi berputar, laguk kebalik tumpah salto koproll dia, banyak sekali orang-orang di dunia ini yang jadi guru laguk dekman paut, ye begawean petak kepeng doang, perihal ne tao, ne paham anak dengan dekne peduli, yang penting honorne. Sang ye ampokne males lok Zerantang. Kan gitakmek Zerantang ngumbe lek kerajaan sine
Orang 4
:
Ampure baginde, ye bermuka dua Zerantang sino, elakne bercabang marak ulah, lain unine muni lain pegaweanne
Orang 1
:
(marah) dendek mek ajah eku, dekman luek sie dunia rasakmek. Ne ku ketoan ente, bagian mbe leman negara sebelah te sino sik ndekne piak salah, ne denger, hakim kedu buku UUD dait KUHP, agen mek taok UUD sino Ujung-Ujungnya Duit lamun KUHP jak Kasi Uang Habis Perkara
Orang 4
:
Ampure sekompi tuan, laguk segerah yak te milu-miluan, alurangwah dengan gawek salah laguk dendek ne ite, lamun tidak begitu? Piranne terjadi perubahan, kan side taok wah mun perubahan dateng leman ite mesak, jari adekne ite sak lek atas dekte sekedar tao suruk dengan laguk ite doang dektewah lebih baik leman mereka, taon te salaan dengan, taonte hukum dengan sampe seberat-beratne laguk ite dekte wah tao hukum dirik
Orang 1
:
Lamunne ngeno, boyak adikmek. Kuhadiahang ente cap lime-lime sok dek mek tetu (mengangkat tangan kiri dan kanan bergiliran)
Orang 4
:
Nggih baginde, beni tiang belet masjid kence merbotne kence bedok bekeliwet. Tengkiyu perumnas lamun jika memang demikian jak, tiang lalo pamit mesik minggat

Beberapa saat, orang satu terlihat merenung (eksplorasi panggung)

Orang 1
:
(marah) Jeranta.....ng
Orang 2
:
(berlari) ada gerangan apakah baginda ngempoh kelek panggil tiang (tercengang melihat raja yang muka merah padam) ya alpunn, wah tiang kembe?
Orang 1
:
Wah macem uni dengan rengahku, mek sedak aranku doang, nengke jak mek mesik-mesik ito...
Orang 2
:
Yoh, papan isikne tepiak aran de?
Orang 1
:
(mau memukul)
Orang 2
:
(terkejut, takut) nggih-nggih, lamun jika memang demikian sememang-memang jak, tiang pamit

Raja beranjak dari tempatnya, beberapa saat muncul dua orang dengan iringan musik, terlihat sang putri mengalami guncangan batin setelah cintanya dicampakkan

Orang 3
:
Ya Allah, mbe laikne ayang Jerantang jauk kunci WC (memegang perut)
Orang 1
:
(heran) epe maksud bi anakku
Orang 3
:
Mah, salak. Maksud tiang jak rinduku sudah di awang-awang timpak ayang Jerantang (menangis dengan lebay dan sejadi-jadinya)
Orang 1
:
Yoh, kumbek bi pasu... dekbi kanggo kemelek Jerantang, ie sino kanak miskin semiskin-miskinnya, dia itu anak pungut mbun
Orang 3
:
(menangis semakin menjadi-jadi

Melihat semua peristiwa itu, rajapun tersentu. Ia memanggil Zupak sementara musik terdengar sayup-sayup, setelah volume dibesarkan penari masuk. Rajapun marah-marah

Orang 1
:
Bi pada nyedak suasana doang

Melihat raja yang marah , penaripun berlari. Raja mengejar dan terjadi kejar-kejaran mengelilingi panggung dalam situasi tersebut terdengar suara perempuan menenangkan, dalang merespon suara tersebut dan terlihat sangat bingung melihat kekacauan yang sedang terjadi di atas panggung

Orang 1
:
Buba......r

Panggung sementara sepi sejenak. Zupakpun pergi mencari adiknya, sementara ditempat yang berbeda terlihat seorang pemuda yang sedang asik menggalah sesuatu. Dari arah luar panggung Zupak memperhatikan dengan seksama

Orang 4
:
(bingung) marak potongan lok Jerantang (memperhatikan) lagukne..... (terkejut) asmara.... ne maling paok aran (merencanakan sesuatu), na....h kendaitan, kulapor badang kemu lek bapak baginde
Orang 2
:
(terkejut setengah mati) e nenek, e nenek. Noh salah wah uniku (mengelus dada) adek mek taokke, leman poto sana sini tanak papukku
Orang 4
:
Maaf arik angkat, tuan putri ye sakit, ente doang jeri owat ne uni raja, jeri nteh te ulek
Orang 2
:
Ndek te tingke paya endah,, mek mesik itoh

Panggung kembali sepi, sementara itu di kerajaan. Terjadi kegaduhan saat raja sedang berduka, terdengar suara musik dan penari masuk. Beberapa orang berpakaian rapipun mengejar dan menangkap mereka satu-satu, dalangpun termangu hanya bisa menatap pristiwa yang sedang terjadi dengan wajah penuh heran.

Orang rapi 1
:
Maaf pak, de kembe te. Dengan jogang doangne
Dalang
:
(heran amat) ha.. segerahke masak
Orang rapi 1
:
Cobak bae de bece pelang lek julu (menunjukkan arah)
Dalang
:
(bergegas ke depan panggung) apa? RSJ... astege.. jari leman onek dengan jogang kencengku...?
Orang rapi 1
:
(menganggkul sesal)
Peria rapipun beranjak sambil menggiring orang-orang yang mereka tangkap sambil di wajahnya dalang heran semakin meninggi. Dalangpun menangis sejadi-jadinya sambil di iringi suara alunan musik.. orang-orang di panggung sepi, dalang menangis sampai pingsang

The And
Yogi’s Memeth
11/11/11

Kamis, 31 Maret 2011

ANALISIS PUISI Maiyah Lingkaran Tanah Air (Cak Nun)



Pada bagian ini akan dipaparkan 2 analisis: (1). Analisis nilai sosial budaya dan (2). Analisis nilai-nilai religi yang terdapat dalam kumpulan puisi Ma’iyah Tanah Air karya M.H. Ainun Nadjib.

1) Analisis nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Ma’iyah
Cak Nun sebagaimana yang diungkapkan oleh R. Sarjono adalah penyair yang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Berbicara lingkungan tentunya tidak dapat dipisahkan dengan keadaan pendidikan, sosial dan budaya serta ekonomi, politik masyarakat. Karena bagaimanapun puisi merupakan keresahan sang penulis terhadap gejolak yang terjadi, sehingga dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan di dalamnya.

a. Analisis nilai-nilai Pendidikan Sosial Budaya
Bila berbicara permasalahan sosial. Maka, tidak akan pernah bisa terlepas dari permasalahan kebudayaan. Sebab, antara keduanya itu ibarat dia sisi mata uang. Pada bagian-bagian tertentu puisi Cak Nun dapat ditemukan nilai pendidikan yang menarik untuk kita jadikan alat untuk bercermin dan sebagai pembelajaran.
Cak Nun sebagaimana yang diungkapkan oleh R. Sarjono adalah penyair yang peka terhadap lingkungan. Berbicara lingkungan tentunya tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya. Untuk inilah, begitu memahami puisi-puisi Cak Nun hal paling pertama yang kita akan temukan adalah nilai sosial budayanya. Banyak nilai-nilai sosial budaya yang dapat dipetik. Karena puisi seperti yang diungkap pada bab awal adalah potret realita yang buruk, yang menyimpang dari idealisme harapan umum, maka disitulah dapat dijadikan cerminan untuk menemukan nilai-nilai sosial budaya ataupun kehidupan. Adapun nilai-nilai dimaksud adalah (a). Ketulusan hati, (b). Pentingnya kejujuran, (c). Pentingnya rasa cinta, baik antar sesama manusia maupun sang khaliq, (d). Ketegasan terhadap prinsip, (e). Pentingnya penegakan hukum untuk mengukuhkan kemanusiaan, (f). Tanggung jawab terhadap amanah yang diembang, (g). Pentingnya kebersamaan.
Berangkat dari realita buruk tentang dunia pendidikan baik masa lampau ataupun masa sekarang dikemas sedemikian rupa. Meskipun tidak tertulis secara langsung, akan tetapi aroma itu nampak pada hampir setiap baris puisi yang ditulis dalam Ma’iyah Tanah Air. Dengan pengucapan bergaya dialog, cak Nun dengan cermat masuk ke jantung problematika pendidikan kita. Perhatikan puisi berikut ini

Ma’iyah Lingkaran
//Agar supaya kita saling menjamin
Bahwa didalam lingkaran// kita tidak ada kotoran batin, Kepalsuan niat, kecurangan fikiran//
//atau apapun yang membuat Muhammad menitikkan air mata//
//Dan membuat Allah mengurangi//
//Atau bahkan membatalkan kasih sayangnya terhadap kita// (ma’iyah lingkaran hal: 1).

//Agar supaya kita saling menjamin// Bahwa didalam lingkaran//. Pada kalimat ini cak Nun memiliki keperihatinan terhadap hubungan yang dibangun antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Sebuah harapan yang tinggi agar setiap masing-masing pribadi berlaku tidak menyimpang dari norma, terutama norma agama dan sangat berharap agar setiap pribadi // kita tidak ada kotoran batin, Kepalsuan niat, kecurangan fikiran//. Kalimat selanjutnya //atau apapun Yang//. Ini bisa berarti bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat sangat buruk, sebagaimana penegasan penulis dalam kalimat-kalimat sebelumnya. Pada bait berikutnya, cak Nun berupaya untuk tetap mengingatkan setiap pendengar atau pembaca agar tidak //membuat Muhammad menitikkan air mata// Dan membuat Allah mengurangi Atau bahkan membatalkan kasih sayangnya terhadap kita//.
Pada ma’iyah lingkaran selanjutnya, si aku tidak pernah merasa putus asa untuk tetap memperingatkan setiap orang bahwa segala tindakan akan membawa akibat pada pelakunya, karena bagaimanapun kehidupan di dunia ini adalah sebuah proses perjalanan untuk menempuh kehidupan yang sebenar-benarnya

Ma’iyah Lingkaran

//Agar supaya perjalanan hijrah demi hijrah kita
Tidak disesatkan oleh arus masyarakat, oleh Allah atau diri kita sendiri Agar supaya perjalan jihad
kita tidak disertai oleh dendam dan ketakabburan//
//Agar supaya perjalanan ijtihad kita tidak dilalimi oleh mahluk apapun//
//Serta tidak melalimi diri sendiri//
//Agar perjalanan mujahadah kita dianugrahi bekal iman dan istiqomah Bekal kekuatan// dan //muthma’innah, bekal penghidupan yang barokah Pintu rizki yang membuka dirinya lebar-lebar atas perjuangan kita//
//Pintu kegembiraan, keasyikan uluhiyah//
Serta perlindungan dari Quatibi wabaulib (ma’iyah lingkaran hal: 1)
Sebuah ledakan emosi yang diulang-ulang pada setiap penulisannya membuat karya cak Nun memiliki ciri khas tersendiri. Pengulangan-pengulangan dalam puisi tersebut mungkin terlihat tidak puitik atau bahkan terkesan membosankan, akan tetapi sesungguhnya, pengulangan-pengulangan pada “kita” itu membuat ledakan emosi yang dimiliki oleh si aku (pengarang) lebih terasa kental dengan perhatian terhadap pola kehidupan maupun pergaulan yang menjadi kebiasaan masyarakat di sekitarnya.
Dari ke (2) dua puisi tersebut di atas, dapat kita temukan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, agar segala perbuatan yang kita lakukan (akhlaq) tidak menyimpang dari ajaran Allah swt dan Muhammad saw.
Dengan gaya penulisan anafora (pengulangan kata) bukanlah sesuatu yang tidak disengaja oleh penulis, pengulangan-pengulangan itu memang sengaja dilakukan untuk menekankan isi atau penjelasan terhadap apa yang di maksud oleh sang penulis.
Cak Nun memotret realita keburukan masyarakat jombang, baik tingkah laku, pola fikir, kenyataan antara zohir dan bathin yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, sangat rapi dan apik. Yakni menggunakan ungkapan yang tidak terlalu sulit untuk difahami, permainan kata “agar” yang dilanjutkan dengan “supaya” kemudian “kita” dan lain-lain menjadikan puisi ini memendam nilai sosial budaya religi yang tinggi. Serta ajaran Islam yang sesungguhnya, dalam hal ini juga menyiratkan pengalaman batin sang penulis.
//Kotoran batin, kepalsuan niat, kecurangan fikiran// menggambarkan keberadaan kauh jahiliyah (masa dahulu) yang terulang kembali dimasa sekarang, menyiratkan sejarah hitam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga //perjalanan hijrah// //perjalanan jihad// dan // perjalanan ijtihad// yang selama ini dirintis oleh nabi seolah-olah belum melekat dengan sungguh-sungguh pada pribadi hampir setiap warga negara indonesia (ma’iyah lingkaran: 1).
Hal seperti ini tentunya membuat hati cak Nun merasa terpanggil dan //mengajak mereka, kita atau siapa saja untuk berkumpul melingkar// (ma’iyah masya’allah hal: 2) dan melahirkan sesuatu yang bersifat cinta sesungguhnya, karena baginya cinta yang ia rasakan hanyalah fana, bukan hanya dunia yang kejam, kemerdekaan negara Indonesia ternyata dirakan masih setengah-setengah. Ini dipertegas dengan //telah dilukai hati kami oleh cinta dunia, negara serta golongan manusia// kepalsuan, kekerdilan yang terjadi semata-mata disebabkan oleh kurang dekatnya manusia dengan sang penciptanya, dengan rasulnya serta rasa cinta terhadap sesama.
Lingkaran yang dibayangkan oleh sosok cak Nun adalah kumpulan yang di dalamnya melahirkan kepercayaan antara sesama. Sebab cak Nun merasa, hubungan antara individu yang satu dengan yang lain sudah terpecah belah meskipun terlihat memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, “limgkaran kebersamaan” yang kurang mendapat perhatian atau bahkan telah menjadi korban kebiadaban //yang dilemahkan oleh pelaku-pelaku kekuasaan dan keuangan// yang berakibat pada hubungan yang tidak harmonis antara masyarakat atas dengan masyarakat bawah, kebiadaban-kebiadaban para pemerintah itu tergambar sangat jelas dalam kalimat //hamba-hamba yang dilalimi oleh kebohongan dan kemunafikan kaum mutakabbirun // yang menggambarkan ketidak amanahan para pemimpin terhadap kewajibannya.


b. Nilai Pendidikan Politik
Pada bagian lain, misalkan ma’iyah lingkaran 4 yang menggambarkan bagaimana kerakusan, penindasan, pelecehan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur negara.

Ma’iyah Lingkaran 4

//Kami berkumpul menciptakan lingkaran kebersamaan antara hamba- hamba//
//yang dilemahkan oleh pelaku-pelaku kekuasaan dan keuangan//
//Kami berkumpul merapatkan lingkaran kebersamaan antara hamba-hamba yang dilalimi oleh kebohongan dan kemunafikan kaum mutakabbirun//
//Kami berkumpul memadatkan kesatuan antara hamba-hamba yang diremehkan dan kini mengerti bahwa diremehkan, antara hamba-hamba yang ditindas dan kini mengerti ditindas//,
//antar hamba-hamba yang dibuang dan kini mengerti bahwa dibuang//
Sebagaimana telah diungkapkan Agus R. Sarjono, bahwa caknun adalah seorang penyair yang menulis puisi-puisi jiwa, nurani, penuh intrik sekaligus solusi atas masalah tersebut, perhatikan puisi berikut:

Ma’iyah Lingkaran

//Kami berkumpul menghidupi lingkaran kesadaran, kepahaman
dan kemengertian akan dusta dan kebohongan dunia//
//Kami berkumpul membangkitkan pengetahuan dan ilmu bahwa kami dibodohkan, difitnah//,
//dimusnahkan dan dibunuh sebelum kematian//
//Kami berkumpul menebar jaringan lingkaran para pecintaMu, Para pecinta kekasihMu, para pecinta kesejatian, para pecinta//
//kebenaran yang sungguh-sungguh kebenaran, para pecinta cinta yang benar-benar cinta//
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tugas karya sastra sesungguhnya adalah sebagai pembuka kemungkinan dengan bahasanya sendiri “memberitakan” sesuatu yang tidak diberitakan koran, majalah, dan media lain. Dengan begitu, karya sastra seolah-olah menggugat birokrasi dan politikus. Tidak hanya sampai disitu, cak Nun juga mengkritik setiap orang yang memburu dunia secara berlebihan tanpa mengingat akhirat.
Dengan begitu, nilai pendidikan politik yang sangat menarik direnungkan adalah: bagaimana melaksanakan tugas dan fungsi selaku aparatur negara tanpa manipulasi, kekerasan, kebohongan, sehingga idealisme bangsa yang demokratis agamis itu dapat terlaksana tidak pada tataran konset belaka.



c) Pesan Moral dalam Kumpulan Puisi Ma’iyah
Moral dalam kamus bahasa Indonesia merupakan “baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlaq; budi pekerti; susila. 2. kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap diperbuatan” (KBBI: 2005: 754).
Bila kita perhatikan secara teliti, dalam ma’iyah tanah air, hampir seluruh karya cak Nun tersebut dipenuhi oleh nilai-nilai keagamaan. Walaupun demikian, bukan berarti puisi-puisi tersebut tidak memiliki nilai- nilai ekonomi, budaya, politik, karena penekanan terhadap pentingnya nilai moral. Kecenderungan puisi-puisi cak Nun dalam ma’iyah tanah air tergambar dengan sangat lugas dan tegas, permainan bunyi, gaya bahasa, dan dihiasi dengan bahasa simbolis dan pengulangan-pengulangan membuat karya cak Nun semakin asyik untuk dibaca dan direnungkan.
Puisi ma’iyah lingkaran seakan menekankan pentingnya moral dan agama bagi bangsa. Ungkapan-ungkapan itu menggambarkan keburukan yang telah beranak pinak dan mendarah daging dalam segala lapisan dan tingkatan. Tidak hanya pada ma’iyah lingkaran saja, akan tetapi cak Nun mempertajam kritikannya terhadap keterpurukan itu pada ma’iyah masya Allah.
Pada puisi tersebut, mengingatkan pentingnya mengembalikan Indonesia kepada rakyat bukan penguasa yang lalim menyerahkan segala urusan kepada Allah. Keterpurukan kondisi sosial budaya itu menurut sang penyair disebabkan oleh ribuan masalah, dan masalah-masalah tersebut menurut sang penyair diyakini adalah:

Ma’iyah Fakir

//Kami miskin, kami faqir, ya Allah//
//Penghidupan miskin Hati miskin//
//Akal miskin Watak miskin Jiwa miskin//
.................................................

//Batin kering jiwa dangkal pikiran pendek mental kerdil moral ambruk//
//Kehendak-kehendak kami lalim//
//Lalim, ya Allah//
.................................................

//Logika serabutan Memandang segala sesuatu Dengan kebusukan hati//
//Mendengar apa saja dengan logika yang curang//
//Ya Alloh yang pantas untuk kami hanya azab//
.................................................
Kata “azab” dalam puisi ini bisa berati siksaan yang sangat dahsyat. Tetapi, “azab” yang dimaksudkan pada puisi ini bisa juga berarti pembelajaran terhadap apa yang pernah terjadi (dilakukan) tidak lagi diulangi yang berupa bencana.
Bagi penulis, kata “azab” dilekatkan karena memiliki makna “istimewa” yaitu dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni, seolah-olah penulis sangat menyesalkan perbuatan tersebut yang diakibatkan oleh kebodohan umat itu sendiri. Perhatikan lanjutan puisi berkut:
.................................................

//Ya allah sedemikian fakir para hamba//
//Pergi menemui Mu dengan bekal uang curian//
//Menaiki kendaran curian Menyanyikan lagu-lagu curian//
//Menyebarkan shalawat curian Mendendangkan suara curian//
//Mendirikan pribadatan//
//Dengan tembang-tembang curian//
//Dengan tembok dan hiasan kepalsuan//
//Ya Allah mulia dzatMu yang amat bersabar//
//Atas penghinaan hamba-hambaMu//
Sesungguhnya, analisis norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Sehingga pemahaman yang kita dapatkan setelah menemukan norma dalam sebuah karya, kita bisa mengontrol tindak-tanduk dalam kehidupan sehari-hari.