Cari Blog Ini

Selasa, 14 Agustus 2012

CERPENKU: KORAN CYBER

LELAKI DAN DONGENG PEMBUNUH








 Dingin malam itu tidak juga menghentikan mulut lelaki bermata sayu menghabiskan tawa di tepi jalan sebuah taman kota. Bulan sabit yang memancar setengahnya tenggelam di dalam kabut hitam menjadikan bias cahanya berkilau seperti tembaga. 
Semakin indah malam itu untuk mengulang kisah-kisah lama yang masih hangat di benaknya, ia baru saja selesai menelponku selepas seorang lelaki datang ke rumahnya sembari membawa kamera kesayangannya. “tunggu aku, sebentar lagi kita akan segera kesana. Kemudian kita akan membelah malam dengan seikat puisi, disini ada seorang berilmu. sakti” ucapnya dari balik gagang telepon miliknya.  Demikianlah kabar yang aku dengar malam itu, segala peristiwa terkunci dan berkumpul dalam dada kembali bersemi ingin meledakkan putik-putik yang terlalu lama mengatup dalam sebuah kuncup.
Duapuluh menit sudah, setelah telpon terputus. Suara deru sepeda motor terdengar dari depan rumah, tidakku hiraukan suara itu. sampai tepat berhenti di sampingku, “ayok bung, kita pergi” ucap seorang lelaki selepas mematikan mesin.
Aku menoleh, seorang lelaki bertubuh gempal dengan senyum yang belum aku mengerti, menegurku. “bagaimana kabarmu bung, apa kau sehat saja” ucapnya sambil menyodorkan tangan kanan untuk memberikan salam. Malam yang sungguh tak pernah aku duga, seorang lelaki kelas elit datang mengunjungi rumah sederhanaku yang penuh dengan bising kenyataan. Dimana aku menikmatinya sebagai sebuah kesunyian.
Aku diam malam itu, nikmat dingin dalam perjalanan yang menusuk tulang tubuh kurusku tanpa baju penghangat tak menghentikan rasa dahaga untuk bertemu dengan lelaki itu. Sungguh sebuah rasa seperti kemarau yang tiba-tiba hujan tak terduga datang.

*******************

Ini adalah kali keduanya kami bertemu setelah beberapa bulan terlewat selepas acara sebuah lomba di kampus. Tak banyak hal yang bisa kami bicarakan, mungkin baginya aku adalah mahluk aneh yang belum bernama.
Setelah beberapa waktu, pada akun yang kubuka waktu itu. Seorang teman memberikan saran kepadaku untuk menulis sebuah nama. Nama yang kemudian akan mengantarkanku pada sebuah pertemuan rutin dengan lelaki itu, lelaki yang sempat kukenal waktu itu. “hei, apa kabarmu, kau masih mengingatku? Kita sempat bertemu. Dulu, waktu acara festival itu. Kau ingat?” ucapku meyakinkan. “ooh,,iya..bagaimana kabarmu” jawabnya entah bingung, atau pura-pura mengingat untuk memberi sedikit ruang bagi perbincanganku. “aku teman si Febrian”, “astaga……..bagaimana, bagaimana” kali ini jawabnya sangat tegas, seolah nama febrian baginya adalah sebuah nama yang mengingatkannya pada sebuah kenangan. Entah kenangan apa itu. Jelas, nama febrian menjadi sebuah tiket untuk perkenalan dengan lelaki itu.
Setelah waktu itu, pertemuanpun menjadi sering terjadi. Walaupun kami jarang melakukan pembicaraan yang panjang, karena bagiku. Tak ada satu katapun bisa terucap untuk seorang lelaki yang memiliki kelas jauh lebih tinggi, lelaki terkenal dengan nama mentereng. Sebuah nama pembawa kenangan.
Keadaan itu tentu sangat mengganggu, aku sangat ingin ketika orang lain menyebut namaku.  Mereka akan teringat satu hal, tentang seorang lelaki yang berdiri di atas langit dengan segala bintang-bintang, air dan ikan-ikan itu sangat ribut menyebut sebuah nama. adalah aku.


*******************
Febrian lelaki yang sangat suka menulis segala peristiwa, orang lebih mengenalnya sebagai seniman. seorang  berwajah mulus dan tampan, menjadi idaman perempuan.
Hari itu adalah sabtu, pertemuan pertama setelah beberapa tahun tidak bertemu dengan seorang bernama Randu. Iapun kemudian mengajakku pergi ke taman kota selong untuk mengikuti sebuah acara, pertemuan para seniman muda Lombok Timur. Sungguh peristiwa yang sangat luarbiasa bagiku, setelah beberapa lama aku tidak pernah bertemu dengan tokoh seniman. Hari itu, menjadi sangat istimewa. Hari yang telah lama aku nanti-nantikan.
Selepas turun dari kendaraan, aku menuju lingkaran paling tengah taman itu, wajah-wajah menatapku. Ada yang penuh tanya, adapula yang biasa saja. “selamat sore bung, apa kabarmu hari ini. Silahkan duduk” ucap lelaki bernama Paranggi. Wajah-wajah penuh tanya itupun berubah menjadi senyum. Sebab, tentu siapa saja yang disebut oleh si Paranggi adalah seniman juga. Yah, begitulah anggapan mereka.
Akupun diperkenalkan kemudian kepada orang-orang yang hadir hari itu dan dipersilahkan untuk menyebutkan identitas secara pribadi. Tanpa mengulur waktu, akupun mulai perkenalan itu. Dan setelah itu, pertemuan kamipun menjadi rutin satukali seminggu.
Satu bulan sudah setelah pertemuanku, banyak peristiwa yang telah terjadi setelahnya. Dari peristiwa latihan biasa, workshop sampai dengan pertemuan hatiku bersama seorang perempuan yang berhasil membuat jantungku berdegub kencang.

*******************

Aku merasa sangat sakit hati, setiap ingin berkenalan dengan seseorang. Mereka selalu menyebut nama Febrian atau Randu, seolah mereka adalah dewa penguasa.
Di taman kota itulah, aku berencana membuktikan kepada semua yang hadir bahwa aku juga memiliki kemampuan yang sama dengan Febrian dan Randu, bahkan. Untuk si Randu, dia adalah muridku sedangkan si Febrian. Jelas, aku lebih dahulu suka menulis.
Hari itu adalah sabtu, pertemuan ke lima kami di taman kota. Febrian dan Randu mempersilahkanku untuk membaca hasil karyaku, tanpa menunda akupun mengeluarkan buku kumpulan karyaku kemudian aku baca. Febrian tidak puas dengan itu, ia meminta padaku untuk membaca sebuah tulisan yang telah membuat banyak orang menangis karena larut dalam emosi.
Setelah selesai memenuhi permintan Febrian, Randu kemudian membagikan selembar kertas putih bergulung. Aku belum tahu apa isinya, sampai Randu meminta untuk membuka gulungan tersebut. Setelah membuka, aku membaca lembaran itu dengan teliti. Lembaran yang ternyata berisi sebuah puisi, lengkap dengan biodata penulis.
Sangat jelas terbaca olehku, jika Randu adalah seorang penulis yang mempunyai tulisan telah terbit di berbagaimacam media, bahkan. Dia bersama Febrian dan Sanggita pernah mengikuti sebuah pertemuan yang membuat nama mereka sangat mahal, hampir mengalahkan nama dewa. “hem,, mungkin karena ini yang menyebabkan mereka disebut-sebut” gumamku dalam hati. Sejak saat itu, akupun diam-diam berencana untuk membuktikan kepada mereka bahwa aku juga bisa lebih.
Sejak saat itu, aku jadi tergila-gila dengan membaca dan bergaul dengan orang-orang yang memiliki pengalaman menulis dengan memendam hasrat untuk membunuh mereka dengan dongeng yang aku buat suatu hari di media.