LELAKI DAN DONGENG PEMBUNUH
Dingin malam
itu tidak juga menghentikan mulut lelaki bermata sayu menghabiskan tawa di tepi
jalan sebuah taman kota. Bulan sabit yang memancar setengahnya tenggelam di
dalam kabut hitam menjadikan bias cahanya berkilau seperti tembaga.
Semakin indah
malam itu untuk mengulang kisah-kisah lama yang masih hangat di benaknya, ia
baru saja selesai menelponku selepas seorang lelaki datang ke rumahnya sembari
membawa kamera kesayangannya. “tunggu aku, sebentar lagi kita akan segera
kesana. Kemudian kita akan membelah malam dengan seikat puisi, disini ada
seorang berilmu. sakti” ucapnya dari balik gagang telepon miliknya.
Demikianlah
kabar yang aku dengar malam itu, segala peristiwa terkunci dan berkumpul dalam
dada kembali bersemi ingin meledakkan putik-putik yang terlalu lama mengatup
dalam sebuah kuncup.
Duapuluh menit
sudah, setelah telpon terputus. Suara deru sepeda motor terdengar dari depan
rumah, tidakku hiraukan suara itu. sampai tepat berhenti di sampingku, “ayok
bung, kita pergi” ucap seorang lelaki selepas mematikan mesin.
Aku menoleh,
seorang lelaki bertubuh gempal dengan senyum yang belum aku mengerti,
menegurku. “bagaimana kabarmu bung, apa kau sehat saja” ucapnya sambil
menyodorkan tangan kanan untuk memberikan salam. Malam yang sungguh tak pernah
aku duga, seorang lelaki kelas elit datang mengunjungi rumah sederhanaku yang
penuh dengan bising kenyataan. Dimana aku menikmatinya sebagai sebuah
kesunyian.
Aku diam malam
itu, nikmat dingin dalam perjalanan yang menusuk tulang tubuh kurusku tanpa
baju penghangat tak menghentikan rasa dahaga untuk bertemu dengan lelaki itu.
Sungguh sebuah rasa seperti kemarau yang tiba-tiba hujan tak terduga datang.
*******************
Ini adalah kali
keduanya kami bertemu setelah beberapa bulan terlewat selepas acara sebuah
lomba di kampus. Tak banyak hal yang bisa kami bicarakan, mungkin baginya aku
adalah mahluk aneh yang belum bernama.
Setelah
beberapa waktu, pada akun yang kubuka waktu itu. Seorang teman memberikan saran
kepadaku untuk menulis sebuah nama. Nama yang kemudian akan mengantarkanku pada
sebuah pertemuan rutin dengan lelaki itu, lelaki yang sempat kukenal waktu itu.
“hei, apa kabarmu, kau masih mengingatku? Kita sempat bertemu. Dulu, waktu
acara festival itu. Kau ingat?” ucapku meyakinkan. “ooh,,iya..bagaimana
kabarmu” jawabnya entah bingung, atau pura-pura mengingat untuk memberi sedikit
ruang bagi perbincanganku. “aku teman si Febrian”, “astaga……..bagaimana,
bagaimana” kali ini jawabnya sangat tegas, seolah nama febrian baginya adalah
sebuah nama yang mengingatkannya pada sebuah kenangan. Entah kenangan apa itu.
Jelas, nama febrian menjadi sebuah tiket untuk perkenalan dengan lelaki itu.
Setelah waktu
itu, pertemuanpun menjadi sering terjadi. Walaupun kami jarang melakukan
pembicaraan yang panjang, karena bagiku. Tak ada satu katapun bisa terucap
untuk seorang lelaki yang memiliki kelas jauh lebih tinggi, lelaki terkenal
dengan nama mentereng. Sebuah nama pembawa kenangan.
Keadaan itu
tentu sangat mengganggu, aku sangat ingin ketika orang lain menyebut
namaku. Mereka akan teringat satu hal,
tentang seorang lelaki yang berdiri di atas langit dengan segala
bintang-bintang, air dan ikan-ikan itu sangat ribut menyebut sebuah nama. adalah
aku.
*******************
Febrian lelaki
yang sangat suka menulis segala peristiwa, orang lebih mengenalnya sebagai seniman.
seorang berwajah mulus dan tampan,
menjadi idaman perempuan.
Hari itu adalah
sabtu, pertemuan pertama setelah beberapa tahun tidak bertemu dengan seorang
bernama Randu. Iapun kemudian mengajakku pergi ke taman kota selong untuk
mengikuti sebuah acara, pertemuan para seniman muda Lombok Timur. Sungguh
peristiwa yang sangat luarbiasa bagiku, setelah beberapa lama aku tidak pernah
bertemu dengan tokoh seniman. Hari itu, menjadi sangat istimewa. Hari yang
telah lama aku nanti-nantikan.
Selepas turun
dari kendaraan, aku menuju lingkaran paling tengah taman itu, wajah-wajah
menatapku. Ada yang penuh tanya, adapula yang biasa saja. “selamat sore bung,
apa kabarmu hari ini. Silahkan duduk” ucap lelaki bernama Paranggi. Wajah-wajah
penuh tanya itupun berubah menjadi senyum. Sebab, tentu siapa saja yang disebut
oleh si Paranggi adalah seniman juga. Yah, begitulah anggapan mereka.
Akupun
diperkenalkan kemudian kepada orang-orang yang hadir hari itu dan dipersilahkan
untuk menyebutkan identitas secara pribadi. Tanpa mengulur waktu, akupun mulai
perkenalan itu. Dan setelah itu, pertemuan kamipun menjadi rutin satukali
seminggu.
Satu bulan
sudah setelah pertemuanku, banyak peristiwa yang telah terjadi setelahnya. Dari
peristiwa latihan biasa, workshop sampai dengan pertemuan hatiku bersama
seorang perempuan yang berhasil membuat jantungku berdegub kencang.
*******************
Aku merasa
sangat sakit hati, setiap ingin berkenalan dengan seseorang. Mereka selalu
menyebut nama Febrian atau Randu, seolah mereka adalah dewa penguasa.
Di taman kota
itulah, aku berencana membuktikan kepada semua yang hadir bahwa aku juga
memiliki kemampuan yang sama dengan Febrian dan Randu, bahkan. Untuk si Randu,
dia adalah muridku sedangkan si Febrian. Jelas, aku lebih dahulu suka menulis.
Hari itu adalah
sabtu, pertemuan ke lima kami di taman kota. Febrian dan Randu mempersilahkanku
untuk membaca hasil karyaku, tanpa menunda akupun mengeluarkan buku kumpulan
karyaku kemudian aku baca. Febrian tidak puas dengan itu, ia meminta padaku
untuk membaca sebuah tulisan yang telah membuat banyak orang menangis karena
larut dalam emosi.
Setelah selesai
memenuhi permintan Febrian, Randu kemudian membagikan selembar kertas putih
bergulung. Aku belum tahu apa isinya, sampai Randu meminta untuk membuka
gulungan tersebut. Setelah membuka, aku membaca lembaran itu dengan teliti.
Lembaran yang ternyata berisi sebuah puisi, lengkap dengan biodata penulis.
Sangat jelas
terbaca olehku, jika Randu adalah seorang penulis yang mempunyai tulisan telah
terbit di berbagaimacam media, bahkan. Dia bersama Febrian dan Sanggita pernah
mengikuti sebuah pertemuan yang membuat nama mereka sangat mahal, hampir
mengalahkan nama dewa. “hem,, mungkin karena ini yang menyebabkan mereka
disebut-sebut” gumamku dalam hati. Sejak saat itu, akupun diam-diam berencana
untuk membuktikan kepada mereka bahwa aku juga bisa lebih.
Sejak saat itu,
aku jadi tergila-gila dengan membaca dan bergaul dengan orang-orang yang
memiliki pengalaman menulis dengan memendam hasrat untuk membunuh mereka dengan
dongeng yang aku buat suatu hari di media.